Bandara
Internasional Lombok Seperti "Pasar Kaget"
LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com - Bandara Internasional
Lombok di Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat kacau balau,
Minggu (2/10/2011). Suasana bandara yang baru dua hari beroperasi ini
mirip pasar kaget, dijejali ribuan penonton.
Aneka panganan seperti
kacang rebus, nasi bungkus, hingga durian dijajakan dengan tikar di
pelataran bandara berstatus internasional.
Banyak penumpang yang kebingungan
karena tidak boleh membawa troli meskipun membawa banyak barang.
Kekacauan bandara mulai terasa sejak memasuki kompleks bandara ini.
Sepeda motor dan mobil berseliweran, menyulitkan pengantar menurunkan
calon penumpang.
Ribuan orang menyesaki halaman depan bandara.
Sebagian berdiri di pagar landasan pacu, menonton pesawat yang baru
mendarat atau hendak terbang. Banyak yang membawa anak-anak kecil.
Aneka
panganan seperti kacang rebus, nasi bungkus, hingga durian dijajakan
dengan tikar di pelataran bandara. Bahkan ada juga yang menjual mainan
anak-anak seperti balon. Sebagian pengunjung dengan santainya makan di
jalan masuk.
Beberapa turis asing yang baru tiba atau hendak
terbang terlihat kebingungan. Sebagian tersenyum simpul, menyaksikan
bandara yang menyerupai pasar kaget ini.
Kekacauan semakin parah
dengan dilarangnya calon penumpang membawa troli barang ke tempat check
in. Petugas dengan keras melarang para penumpang membawa troli melewati
pintu masuk, sehingga memicu antrean.
Banyak penumpang yang
mengeluh dengan kebijakan ini. "Ini aturan apaan, tak ada di bandara
manapun di dunia seperti ini. Barang kami banyak sekali, masak tidak
boleh bawa troli untuk ke tempat
check in," protes Budiawan,
calon penumpang yang hendak terbang ke Denpasar.
Dia terpaksa
menyeret barang bawaannya yang berupa tenda-tenda dan perlengkapan
pendakian lainnya. Budiawan menyayangkan dengan buruknya manajemen
bandara, yang menurutnya, telah menciderai pariwisata Lombok.
"Kalau
memang belum siap beroperasi kenapa terburu-terburu dibuka? Ini kan
menyulitkan calon penumpang," kata dia. (INE/ANG/AIK)
BIL: Bandara Inilah Lombok
Abdul Latif Apriaman*
(Penulis adalah ketua Aliansi Jurnalis Independen – AJI Mataram, Pegiat
Apahjagah Institute)

Langit cerah pagi itu. Seorang pedagang
bakso cilok menebar senyumnnya—yang juga cerah—kepada sejumlah petugas
berpakaian loreng lengkap dengan senjatanya, yang berjaga di depan
gerbang. Beberapa meter di depannya sebuah mobil bak terbuka syarat
penumpang—yang juga berwajah cerah—melaju dengan tujuan yang sama.
Mereka semua adalah bagian dari ratusan bahkan ribuan warga dari
berbagai penjuru yang tak ingin melewatkan kesempatan bersejarah;
mereka ingin menjadi saksi beroperasinya sebuah bandar udara yang sudah
sangat lekat dengan panggilan BIL.
Kalau saja tidak ada tidak ada papan
nama yang menerangkan bahwa lokasi itu adalah Bandara Internasional
Lombok, semua orang akan menerka bahwa hari itu mereka layaknya berada
di sebuah terminal bus, atau di sebuah lokasi pameran pembangunan yang
sangat ramai pengunjung. Selain pedagang bakso cilok tadi, sejumlah
pedagang kacang rebus hilir mudik menjajakan dagangan. Sesekali mereka
melintas di dekat pedangan mainan anak. Seorang perempuan berbaju
lambung lalu lalang di antara para penumpang dan tamu undangan di
pintu masuk keberangkatan. Dengan mata gelisah dia memeriksa ke segala
arah, mencari cucunya. Seorang wisatawan asing tampak tersenyum, tak
mau kehilangan moment, dengan kameranya dia merekam situasi yang pasti
tak pernah dia temukan di negaranya. Semua orang larut dalam perasaan
mereka masing-masing menyikapi BIL yang sudah ada di depan mata.
Sabtu, 1 Oktober 2011, pukul 10.08
Wita, roda pesawat Boeing 737 dengan nomer penerbangan GA 432 mendarat
mulus di landasan pacu yang memiliki panjang 2.750 meter. Puluhan
bahkan mungkin seratusan kamera --milik wartawan, panitia termasuk
kamera pengunjung, yang juga termasuk kamera HP--merekam dengan
seksama peristiwa itu. Para tamu undangan bertepuk tangan tanda
kegirangan yang bukan kepalang. Tak sedikit yang melewati moment ini
dengan mata berkaca-kaca.
Di samping kiri kanan bangunan utama
BIL, di bawah terik matahari yang mulai terasa menyengat, ratusan
pasang mata warga yang juga tak mau lepas dari detik demi detik
peristiwa yang seumur hidup baru mereka alami. Beberapa membawa payung,
tapi kebanyakan tanpa penutup kepala. Tontonan yang ada di depan mata
mereka begitu kuat daya pikatnya, sehingga sengatan matahari apalah
artinya. Toh tubuh mereka juga sudah sangat akrab dengan terik meyengat
itu.
Hingga lepas siang, para tamu undangan
sudah pulang, ratusan penumpang juga datang dan pergi silih berganti
dengan pesawat yang sudah mulai hilir mudik di apron bandara, tapi
pengunjung bukannya berkurang. Di pintu kedatangan dan keberangktatan,
sebagian warga melepas lelah, menikmati makanan dan minuman yang
mereka bawa. Para pedagang asongan makin gencar menjajakan dagangan dan
suasana ini berlangung hingga malam. Pelataran terminal BIL layaknya
pasar malam.
Kepolosan respon warga atas
beroperasinya BIL ini mendapat respon di sana-sini. Di dunia maya dan
dunia nyata perbincangan akan itu betapa hangatnya. Sebagian
menyertainya dengan tertawa, tapi sebagaian lagi mengaku sedih dan malu
melihat potret realitas masyarakat yang ada dihadapan kita. Tapi
apapun responnya bahwa itulah realitasnya.Di lantai dua dalam gedung
utama, Gubernur NTB beserta para pejabat termasuk Dirjen Perhubungan
Udara Kementrian Perhubungan, hampir senada berpidato tentang
kegembiraan dan rasa syukur mereka atas beroperasinya BIL yang
dihajatkan menjadi pintu gerbang kemajuan NTB, sementara di luar
masyarakat yang datang tanpa undangan juga menikmati kehadiran simbol
kemajuan itu dengan cara mereka, yang oleh sebagian orang menjadi bahan
tertawaan . Tapi mau apalagi. Inilah realitasnya dan apa yang terjadi
di hari bersejarah 1 Oktober 2011 itu seolah ingin memberi pekabaran
pada dunia bahwa inilah BIL ; Bandara Inilah Lombok.
Sebuah
Peringatan Dini
Untuk membuat areal BIL benar-benar
seperti sebuah bandara internasional, bukanlah perkara sulit, dan hal
itu sudah terbukti. Setelah sempat dua hari menjadi arena pasar tumpah,
pelataran terminal BIL sekarang sudah bersih dari pedagang asongan.
Aturan ditegakkan, yang tidak berkepentingan dilarang masuk! Tentu saja
dengan kebijakan ini, kita tidak akan melihat lagi sampah kacang rebus
atau plastik makanan ringan yang terserak di sana sini. Tidak ada juga
pedagang duren dan pedagang kopi yang menggelar tikar berikut barang
dagangannya, layaknya sebuah arena pasar rakyat. Dengan aturan yang
ditegakkan semua bisa dibereskan, apalagi jika diawasi oleh aparat
bersenjata lengkap.
Akan tetapi persoalan sesungguhnya
tidaklah selesai dengan aturan-aturan itu, karena persoalan baru justru
bisa muncul karenanya. Dengarkanlah suara seorang ibu yang akhirnya
memilih berjualan di pinggir jalan depan BIL, “tanak tebait, bedagang
lek dalam ndek tebeng, anak ngelamar begawean ndekn teterimak, ape te
bau gawek?” Jika diterjemahkan lontaran spontan itu berarti; tanah saya
sudah diambil, mau jualan di dalam tidak diizinkan, anak saya melamar
kerja ndak diterima, lantas apa yang bisa kami kerjakan?
Sang ibu adalah bekas pemilik lahan di
BIL yang tidak tidak ikut dalam barisan ratusan pemuda lingkar bandara
yang berdemonstrasi menuntut dipekerjakan, Senin (03/10). Tapi dia
menaruh harapan aksi itu akan mebuahkan hasil dan pengelola BIL mau
merespon dengan menerima tenaga kerja dari para pemuda di lingkar
bandara, termasuk anaknya. Dalam perkara ini, tentu saja para pihak
yang berkepentingan dalam perekrutan tenaga kerja bisa berdalih bahwa
ada aturan main yang harus ditaati, ada standar dan prosedur yang
berlaku. Jadi tidak bisa sembarangan.
Memang tidak ada yang salah dalam hal
itu, bahwa aturan dan prosedur harus dijalankan untuk memperoleh
tenaga-tenaga profesional. Akan tetapi harus diingat bahwa dalam proses
pembebasan lahan bandara, selain dengan pendekatan tindakan
represif—yang sempat menumpahkan darah warga--salah cara jitu
pemerintah untuk memuluskan pembebasan lahan adalah menjanjikan para
pemuda dari lingkar bandara untuk diprioritaskan bekerja di BIL. Dan
janji itulah yang kini dituntut pembuktiannya.
Mereka tentu saja tidak akan ngotot
untuk menjadi pilot, pramugari atau manajer, yang mereka inginkan
adalah bekerja pada pos-pos yang bisa mereka kerjakan. Mereka tak mau
jadi bahan tertawaan; ngotot memaksakan kehendak bekerja yang tidak
sesuai porsinya. Untuk itu mereka juga secara mandiri telah
mempersiapkan diri dengan mengikuti pelatihan-pelatihan tanpa bantuan
pemerintah. Semangat mereka jelas terlihat di sana, mereka ingin
ikut memiliki BIL dan bukan sekadar menjadi penonton.
Terkait dengan faktor keamanan yang
selama ini dipertanyakan banyak kakalangan, kebijakan mempekerjakan
para pemuda di lingkar BIL tentu saja akan menjawab keraguan itu.
Setidaknya rasa perih yang masih disisakan para pemilik lahan yang
terpaksa merelahkan tanahnya untuk proyek memajukan daerah itu akan
bisa terobati manakala mereka melihat anak-anak mereka, para pemuda
dari desa di lingkar bandara bisa terlibat menjadi pekerja di bekas
lahan garapan mereka.
Saya kira tidak perlu melanggar aturan
main untuk itu. Para pemuda di lingkar bandara memang pantas untuk turut
merasakan manfaat dari pembangunan yang ada di kampung halaman mereka.
Para pemuda itu dengan sendirinya akan bekerja sepenuh hati membuat
BIL benar benar menjadi Bandara Internasional Lombok, bukan sekedar
Bandara Inilah Lombok.